Di tengah arus besar kemajuan teknologi, siapa
sangka bahwa seorang santri dari Pondok Tremas, Pacitan, mampu menembus dunia
pemrograman yang selama ini identik dengan kalangan akademik modern. Ia adalah Muhammad, sosok muda yang membuktikan
bahwa nilai-nilai kesantrian bisa berpadu dengan semangat zaman digital.
Perjalanan Muhammad tidak dimulai dari ruang
kelas teknologi canggih, melainkan dari bilik pondok pesantren, tempat di mana
ia menimba ilmu agama, disiplin, dan kesabaran. Setelah lulus, Muhammad sempat
bekerja di sebuah rumah makan di Yogyakarta. Namun, di sela-sela kesibukan itu,
muncul keinginan besar dalam dirinya untuk menapaki dunia baru: dunia teknologi informasi.
Tanpa latar belakang formal di bidang IT,
Muhammad memilih jalan belajar otodidak.
Ia menekuni berbagai tutorial daring, mengikuti forum-forum komunitas
programmer, dan terus mencoba meski berkali-kali gagal. Di masa-masa awal,
ketiadaan mentor membuat perjalanan belajarnya terasa berat.
“Kendala terbesar saat awal belajar adalah
tidak adanya mentor. Saya belajar sendirian dan sering merasa bingung dengan
kode-kode yang rumit. Tapi saya terus berusaha dan akhirnya menemukan jalan
keluar,” ungkapnya dalam wawancara dengan NU Online Jatim.
Ketekunan itu akhirnya berbuah hasil. Dari
yang semula hanya mengandalkan semangat, kini Muhammad menjelma menjadi seorang
programmer muda yang
diperhitungkan. Ia sempat menjadi freelancer
front end
developer dan bahkan meraih beasiswa
sertifikasi global dari Oracle, salah satu perusahaan teknologi
multinasional ternama di dunia.
Prestasi tersebut tentu bukan hasil kebetulan.
Muhammad menyadari bahwa apa yang ia dapat di pondok terutama nilai disiplin,
ketekunan, dan dedikasi menjadi
fondasi kuat dalam perjalanan kariernya.
“Ketekunan untuk memecahkan masalah dalam
bentuk kode, untuk selalu belajar teknologi, serta dedikasi untuk selalu duduk
di depan laptop berjam-jam, itu semua saya dapat ilmunya dari pondok,”
tuturnya.
Ia meyakini bahwa santri juga bisa berkiprah di dunia teknologi, karena
esensi belajar di pesantren bukan hanya soal kitab dan doa, tetapi juga tentang
melatih mental dan ketangguhan
menghadapi tantangan. Nilai-nilai itulah yang menuntunnya dalam dunia
pemrograman yang penuh ujian dan kegigihan.
Muhammad tidak melupakan akar kesantriannya.
Ia masih mengenang masa-masa di pondok dengan penuh kehangatan termasuk momen sederhana namun berkesan
seperti kegiatan pramuka dan pengalaman unik mencicipi buah mengkudu untuk
pertama kali.
“Itu pengalaman yang lucu tapi berkesan. Dari
situ saya belajar bahwa setiap hal baru, meskipun terasa aneh, bisa menjadi
tantangan yang perlu ditaklukkan,” ujarnya sambil tersenyum.
Kini, Muhammad memiliki cita-cita mulia: membangun aplikasi buatan sendiri yang
dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. Ia ingin menciptakan teknologi yang
tidak hanya modern, tetapi juga membawa nilai kemanusiaan dan kebermanfaatan
sebagaimana diajarkan di pondok.
Sebagai penutup, Muhammad berpesan kepada para
santri dan generasi muda agar tidak takut
bermimpi besar, termasuk di bidang teknologi.
“Mulailah belajar, persiapkan diri kalian
untuk mendedikasikan diri dengan kesulitan yang nanti akan dirasakan. Belajar
koding itu sulit, tapi dengan ketekunan dan semangat, pasti bisa,” pungkasnya.
Kisah Muhammad menjadi bukti nyata bahwa santri bukan hanya penjaga nilai, tetapi juga
pembawa perubahan. Bahwa dari pesantren, lahir generasi yang mampu
menulis masa depan bangsa satu baris
kode demi satu kemajuan.