Dunia digital yang kita nikmati hari ini tidak lahir begitu saja. Di balik setiap aplikasi, sistem layanan publik, atau fitur yang memudahkan kehidupan, ada tangan-tangan terampil yang bekerja dalam diam para pembangun dunia digital, atau yang biasa kita kenal dengan sebutan software developer.
Salah satu di antara mereka adalah Faris
Rachman Hakim, pemuda asal Pasuruan, Jawa Timur, yang membuktikan bahwa
teknologi bukan hanya milik korporasi besar, tetapi juga bisa menjadi alat pengabdian
bagi masyarakat.
Sejak kecil, Faris sudah akrab dengan dunia
logika dan angka. Ia menyukai matematika, menyenangi sains, dan gemar
membongkar hal-hal yang membuatnya penasaran. Ketika duduk di bangku SMK, ia
menemukan dunianya pemrograman lewat kegiatan ekstrakurikuler robotika.
Dari situ, semangat belajarnya tumbuh pesat. Ia menekuni bahasa-bahasa
pemrograman dari buku dan sumber daring, menghabiskan waktu berjam-jam di depan
layar bukan karena tugas, tetapi karena rasa ingin tahu yang besar.
Setelah lulus, Faris melanjutkan pendidikan di jurusan
Teknik Informatika di sebuah universitas negeri di Malang. Di kampus, ia
tidak hanya belajar teori, tetapi juga aktif dalam organisasi dan kompetisi
koding. Dunia mahasiswa memberinya ruang untuk berkolaborasi, memimpin tim, dan
memahami bahwa teknologi bukan sekadar alat, melainkan sarana untuk
menyelesaikan persoalan nyata.
Lulus kuliah bukan akhir, melainkan titik awal
dari perjalanan yang sesungguhnya. Bersama teman kuliahnya, Faris mendirikan startup
lokal bernama Tukangdigital. Dari usaha kecil itulah ia mulai belajar makna
lain dari dunia pemrograman bukan sekadar menulis kode, tetapi membangun
solusi untuk manusia. Ia terlibat dalam berbagai proyek, dari pengembangan
aplikasi bisnis hingga sistem layanan masyarakat.
Namun titik balik datang ketika ia menatap lebih
dalam ke desa tempat tinggalnya. Ia menyadari bahwa masih banyak potensi yang
belum tergarap, terutama dalam hal pengelolaan data dan layanan publik. Dari
keresahan itu lahirlah ide besar: membangun sebuah aplikasi yang dapat membantu
pemerintahan desa beradaptasi dengan era digital.
Aplikasi itu kemudian dinamakan “SiPanda”,
singkatan dari Sistem Informasi Pelayanan Data Kependudukan Desa.
SiPanda bukan sekadar program, melainkan jembatan digital antara pemerintah
desa dan warganya memungkinkan pelayanan administrasi menjadi lebih cepat,
akurat, dan transparan. Inovasi sederhana yang lahir dari empati, bukan sekadar
ambisi.
Kini, Faris telah menangani puluhan proyek
digital dari berbagai kota di Indonesia. Namun baginya, pencapaian terbesar
bukan pada jumlah proyek atau nilai kontrak, melainkan dampak yang ia
rasakan ketika teknologi yang ia buat benar-benar membantu orang lain.
“Saya ingin teknologi itu tidak berhenti di
layar, tapi menyentuh kehidupan orang banyak,” ujar Faris suatu ketika.
Kunci Sukses
Faris: Belajar, Bertahan, dan Berbagi
- Pembelajaran Berkelanjutan: Dunia
teknologi terus berubah. Faris sadar, satu-satunya cara untuk bertahan
adalah dengan terus belajar, baik dari kuliah, pelatihan, maupun
eksplorasi mandiri.
- Jaringan yang Kuat: Ia aktif
di komunitas IT dan startup, karena dari sanalah lahir kolaborasi dan
peluang baru.
- Ketekunan dan Ketahanan: Dalam
setiap baris kode, selalu ada kesalahan. Dalam setiap proyek, selalu ada
rintangan. Faris memilih untuk tidak menyerah.
- Kreativitas dalam Solusi: Bagi
Faris, pemrograman bukan hanya tentang logika, tapi juga tentang imajinasi
dalam memecahkan masalah manusia.
Refleksi:
Teknologi untuk Kemanusiaan
Kisah Faris mengajarkan kita bahwa menjadi programmer
bukan hanya tentang karier, tetapi juga tentang tanggung jawab sosial.
Di tangan orang yang tepat, teknologi bisa menjadi ladang amal, alat
pemberdayaan, dan jembatan menuju kemajuan bersama.
Dunia digital masa depan membutuhkan lebih banyak
sosok seperti Faris — orang-orang yang tidak hanya pandai menulis kode, tetapi
juga memahami makna dari setiap kode yang mereka tulis: melayani,
memudahkan, dan memberi manfaat.